Rumah Baca Peduli Bangsa, Rumah bagi Komunitas Intelektual di Dharmasraya

Michael Jarda
4 min readOct 26, 2021

--

Logo Rumah Baca Peduli Bangsa/Foto dari laman Facebook

JAM menunjukkan pukul 21.00, langit masih hujan ketika saya mulai menghidupkan mesin motor. Tujuan keberangkatan malam ini adalah sekretariat Rumah Baca Peduli Bangsa (RBPB), terletak di Koto Agung, berjarak 10 kilo meter (menurut pengukuran aplikasi Google Maps) dari kediaman di Gunung Medan.

Kedatangan ke sini atas pesan dari Yogi Buana Putra yang sebelumnya — di tengah hujan —singgah di rumah mengabari kalau saya “disuruh salah seorang senior” ke RBPB. Lima menit setelah motor dipanaskan dan hujan sedikit reda saya tancap gas.

Untuk mencapai RBPB tersedia beberapa rute dari Gunung Medan. Pertama, via jalan Blok A; Kedua, via jalan Sitiung; Ketiga via Sungai Duo, dan jalan baru gor melewati Koto Padang.

Saya memilih rute paling cepat. Rute Sungai Duo. Sebab baru pertama ke sini, Google Maps sangat membantu di jalan. Walaupun keakuratannya meleset beberapa meter.

Dua puluh menit perjalanan saya sampai di Rumah Baca Peduli Bangsa. Bangunan berwarna hijau dengan ruang bagian depan yang cukup luas. Ketika sampai saya bertemu dengan kawan-kawan lintas-organisasi di Dharmasraya. Suatu kemewahan.

Suasana di dalam Rumah Baca Peduli Bangsa, geliat kesibukan

Saya sampai tepat ketika dalam ruangan rumah baca ini rapat sedang berjalan alot. Rupanya kedatangan saya bertepatan dengan rapat persiapan menyambut Hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan yang diinisiasi DPD KNPI Dharmasraya. Pembahasan rapat berkisar pada pembagian kerja mengantar proposal pengajuan dana ke perusahaan-perusahaan di daerah ini, pembahasan jadwal dan tim peserta turnamen bola kaki, seminar, dll.

Bung Age, inisiator rumah baca ini, mengenalkan saya kepada beberapa kawan yang belum saya kenal. Beberapa jenak kemudian, saya melirik-lirik koleksi buku rumah baca. Cukup lengkap, mulai dari buku bertema keagamaan, psikologi, sosial, politik, hingga buku fiksi.

Mata saya kemudian tertuju pada satu buku di sudut jejeran buku. Buku itu satu karya nonfiksi klasik Nawal El-Saadawi (1931–2021), Catatan dari Penjara Perempuan, terbitan Yayasan Obor Indonesia. Saya membaca beberapa lembar bab awal buku, karena terbiasa membaca di ruangan sendirian mata saya tak kuat lagi untuk melanjutkan membaca. Kemudian saya minum kopi yang disuguhkan seorang kawan. Setelahnya lanjut menyusuri ruangan di rumah baca ini.

Ruangan di sini terdiri dari satu ruang tamu luas dan tiga kamar. Satu ruang garasi sepeda motor bersebelahan dengan dapur. Sebelumnya saya juga minta izin kepada Age Kurniawan untuk menggunakan salah satu ruangan untuk keperluan podcast bersama Bung Dodi Widia dalam waktu dekat.

Sebagai pemanasan podcast baru, selanjutnya, saya coba merekam materi buat saluran Youtube saya yang vakum hampir dua tahun dengan mewawancara Yogi Buana Putra penulis buku kompilasi puisi Jangan Tersinggung Tuan! Kurang lebih 37 menit kami merekam percakapan seputar proses kreatif karyanya itu. Hasil rekaman bisa dilihat di sini.

Serba Sedikit tentang Rumah Baca Peduli Bangsa

“Rumah baca ini baru berdiri, umurnya belum sampai tiga bulan. Berdiri 8 September 2021, bertepatan dengan hari buku internasional. Dan, ini sangat spesial, berdiri bertepatan dengan hari ulang tahunku, Bung!” Begitu Age membuka percakapan setelah ditanya riwayat rumah baca ini. Filosofis, gumam saya dalam hati.

Rumah Baca Peduli Bangsa memiliki visi sebuah usaha kecil untuk mencerdaskan bangsa. Karena kepedulian terhadap bangsa itu pula nama yang digunakan Rumah Baca Peduli Bangsa.

Dalam mendirikan rumah baca ini Age dibantu seorang teman yang sama-sama konsen pada gerakan literasi. Ke depan rumah baca akan dikelola secara profesional. Nanti bakal ada peminjaman buku seperti perpustakaan umum jika koleksi buku sudah banyak. Untuk jumlah koleksi buku yang ada sekarang berkisar 200an judul. Koleksi berasal dari donasi kawan-kawan jejaring yang dibangun di media sosial.

“Nanti, bung, sudah kita rencanakan juga soal keanggotaan. Untuk sementara ini baru tersedia buku tamu. Selanjutnya kita adakan kegiatan lain di sini, contohnya, lomba-lomba yang diperuntukkan untuk anak usia sekolah,” dijelaskan Bung Age lebih lanjut.

Usaha bertahap yang dilakukan Bung Age dkk di media sosial mulai menampakkan hasil. Sudah ada yang memberi donasi untuk bikin plang merek, ajakan kolaborasi kegiatan, pun sekadar say hello perkenalan dari komunitas lain.

Saat disinggung soal kepemilikan tempat, dirinya menerangkan kalau rumah besar ini kepunyaan salah satu saudara yang saat ini tengah berada di Pulau Jawa, “karena tidak ada yang ngurus, makanya aku minta ijin, gimana kalau rumah ini aku kelola” dan eureka, terciptalah tempat ini.

Kendala rumah baca ada pada beberapa bagian yang bocor, jelas Age. Age menutup percakapan sambil berpesan, “Jika ada kawan-kawan yang ingin donasi buku atau yang lain dapat menghubungi laman media sosial Rumah Baca Peduli Bangsa.”

Malam makin larut. Anak-anak muda di sini masih aktif: mereka berdebat, berdiskusi, beradu ide terbaik demi kesuksesan acara mereka. Melihat mereka, waktu bagi saya seakan putar balik ke beberapa tahun silam ketika masih menjadi mahasiswa — suatu dunia muda yang menggeliat!

Dan, sebagai penutup tulisan, saya teringat pesan seorang kawan yang saat ini bermukim di Jakarta beberapa minggu lalu, “Moga-moga dalam waktu dekat tercipta suatu komunitas intelektual di Dharmasraya”. Malam ini, saya menemukan jawaban, “Bung, anak-anak muda yang sedang rapat malam inilah komunitas intelektual di Dharmasraya dan Rumah Baca Peduli Bangsa sebagai rumah bersama mereka!”(*)

--

--

Michael Jarda

Gunung Medan, 18 Maret 1994. Sedang mendalami spirit Madonna.