“I’m Amazed”, Kredit untuk 102 Tahun Hikajat Kadiroen, Semaoen

Michael Jarda
3 min readDec 25, 2022

--

Edisi dengan sampul ini tersedia di Google Buku

SEBELUM buru-buru latah memberi cap komunis itu ateis, tak bertuhan, diikuti stigma buruk (buruk menurut ukuran orang Indonesia) lainnya, Anda bisa lanjutkan sendiri sesuka hati. Saya sarankan, ini saran lho ya, Anda sebaiknya membaca Hikajat Kadiroen karya Semaoen tahun 1920.

Hikajat Kadiroen dikarang ketika dirinya tengah berada di penjara kolonial, dipenjara atas tuduhan persdelick, suatu tuduhan yang umum kepada kelompok gerakan antikolonial yang bergerak di bidang pers waktu itu.

Hikajat Kadiroen mengisahkan seorang pribumi yang berkarir dari jabatan mantri polisi terus melesat ke jabatan wedono, jabatan prestisius setingkat bupati atau apalah saat ini. Meski menjadi perpanjangan tangan kolonial, Kadiroen, si tokoh utama, tetap memihak pada "bangsa"nya, emoh untuk menjilat seperti kebanyakan feodal berkedudukan tinggi kala itu.

Wedono ini semakin radikal ketika berkenalan dengan PK, sebuah perkumpulan yang didasari pikiran kominis. PK, dalam hikayat ini menarik, inisiatornya para haji, iya haji, predikat yang dulu diberikan kolonial pada tokoh pergerakan Islam progresif [1]. Ingat Haji Misbach? [2] H.O.S Tjokroaminoto? [3] Haji Ahmad Khatib Datuak Batuah? [4] dll.

Bolehlah hikayat ini diibaratkan sebagai usaha mengangkangi kolonial, menari di atas kepatuhan "inggih, sahaya, tuan" feodal kolaborator. Ganjarannya, Hikajat Kadiroen masuk kategori "batjaan liar" alias bacaan tak direstui kolonial, atawa bacaan yang tidak diterbitkan oleh penerbit Balai Poestaka [5].

Apa yang membuat Hikajat kadiroen unik? Ialah, menjungkalkan keyakinan yang telah ditanamkan rejim Orde Ba(r)u Harto sejak 1 Oktober 1965 bahwa kaum merah itu tak bertuhan, kejam, dan, sekali lagi silakan teruskan sendiri.

Alih-alih kejam, kaum perkumpulan PK yang digambarkan Semaoen dalam Hikajat Kadiroen malah saleh sekali, memihak kaum melarat, setiap tindakan ditimbang, diukur, didasari "keridaan allah lillahi taalah", kalimat ini muncul puluhan kali dalam percakapan di antara tokoh PK. Sekadar penyegaran, dalam perspektif tanah kelahiran kominis di Eropa sana, kaum semacam ini jelas kominis yang aneh, penuh kontradiksi, kominis takhayul [6].

Salah satu kalimat syukur kepada Tuhan yang monumental dalam hikayat ini, "O, Tuhan Allah Yang Mahabesar, Yang Maha adil, bagaimanakah kita bisa membuktikan rasa terima kasih kita, dengan terang dan sepantasnya kepada Gusti. O, Tuhan, Allah Yang Maha kuasa, kita menghaturkan berjuta-juta terima kasih atas kebaikan Tuhan...." (h, 250).

Betul! Semaoen si pemula embrio komunis di negeri ini mengucapkan kalimat ini lewat tokoh Kadiroen.

Jadi, sebelum buru-buru menstigma hal yang baru diketahui lewat katanya, kata mbah kakung saya, kata bulek saya (generasi yang dibesarkan ketika sejarah adalah narasi total dari pemerintah) mending membaca lagi sejarah dari sumber pertama, sumber dari zaman yang mengizinkan pikiran apa pun untuk muncul, berkembang, dan tumbuh (sejak 1 Oktober 1965, Endonesah kehilangan girah ini).

Kembali ke Hikajat Kadiroen, ini cerita walau sudah berusia satu abad, beberapa masih tetap relevan dengan keadaan sekarang. Salah satunya tabiat kolonial Belanda yang sedikit-sedikit mengambingkan kominis atas segala kekacauan.

Tidak cuma diisi ketegangan tokoh-tokoh pergerakan di dalamnya, novel ini juga diselingi kisah cinta Kadiroen dan Ardinah, yang, aihh romantik, hampir tragik. :')

====
Akses Open Source ke Hikajat Kadiroen

Silakan baca di sini: https://www.marxists.org/indonesia/indones/HikayatKadiroen/index.htm

Malas baca Edjaan Van Ophuijsen sila unduh di sini versi EYD koleksi si kamerad Rowland https://drive.google.com/file/d/1Zu0OhAXPXelYN55Sf3Vjj0b00G1sVvt7/view?usp=drivesdk

Baca PDF bikin mumet, langsung beli buku fisiknya di toko online official store ini https://shopee.co.id/product/34379470/7167678548?smtt=0.197584759-1609919446.9

Selamat membaca.

Sekilas tentang Semaoen: https://amp.tirto.id/m/semaoen-bab

====

Komidi omong:

[1] Taktik Belanda Mengendalikan Islam Melalui Gelar Haji https://tirto.id/taktik-belanda-mengendalikan-islam-melalui-gelar-haji-cvHx [tersedia]

[2] Pengantar: Mengenang Kembali Haji Misbach https://islambergerak.com/2016/05/mengenang-kembali-haji-misbach/ [tersedia]

[3] Bacaan pengantar: HOS Tjokroaminoto Memadukan Ajaran Marx-Engels dengan Islam https://asumsi.co/post/hos-tjokroaminoto-memadukan-ajaran-marx-engels-dengan-islam

[4] Sebagai pengantar ke bacaan lebih lanjut: Kisah Haji Merah dari Sumatra Barat https://www.berdikarionline.com/kisah-haji-merah-dari-sumatera-barat/ [terdedia]

[5] Penelitian Razif berjudul Bacaan Liar: Budaya dan Politik Pada Zaman Pergerakan https://drive.google.com/file/d/1HMocwNxZnwjCDBG1EoUzhEhaGCCT0DJI/view [open acces]

[6] Lebih lanjut, skripsi sarjana muda Soe Hok Gie yang dibukukan dengan judul "Di Bawah Lentera Merah", penjelasan ini dibahas lagi dalam skripsi sarjananya "Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan" baca langsung di ipusnas http://webadmin.ipusnas.id/ipusnas/publications/books/56562

--

--

Michael Jarda

Gunung Medan, 18 Maret 1994. Sedang mendalami spirit Madonna.