Bung, beristirahatlah. Pinta mataku

Michael Jarda
4 min readOct 18, 2022

--

Picasso The Third Eye of the Artist

KEMARIN aku memeriksa mata ke dokter. Sudah enam hari pandangan mata sebelah kananku buram. Awalnya aku tak ambil pusing toh dalam pikiranku bakal sembuh sendiri. Dua, tiga, empat hari kemudian barulah aku gusar penglihatan sebelah kanan tak kunjung membaik, segera aku laporkan ke ibu, sambil kena semprit, “Dari dulu sudah ibu bilang periksa matamu, bikin kaca mata.”

Ibu benar, sebagai seorang yang suka membaca, bermain komputer, dan menggilai layar apa pun dari kecil mataku memang kurang sehat. Aku ingat, kelas V SD aku diberikan kaca mata hitam olehnya sebelum bermain komputer atau menonton televisi jaga-jaga radiasi sinar yang bikin perih mata. Kugunakan sebentar, lalu mencopot lagi. Kelas I SMP mataku sering sakit. Merah, gatal.

Dulu ibu sering mengingatkan hati-hati, nanti kamu buta. Kebiasaan buruk berlanjut ketika SMA hingga hari ini, begadang, kegelisahan membuatku sulit untuk tidur. Macam-macam bentuknya.

Sampai di tempat praktek dokter pukul 17.00 ditemani Rudy Prayogo. Mendaftar ke resepsionis (anggap saja ini nama penjaganya). Beberapa menit kemudian aku dipanggil masuk ke ruang pemeriksaan. Beruntung sekali, lengang, jadi tak perlu mengantre.

Dalam ruangan, pertama si dokter menanyai perihal maksudku memeriksakan mata, kujawab, “mata sebelah kananku buram, Buk!” Lalu dokter mengira-ngira penyebabnya, hampir betul tebakannya, apa luput memakai helm ketika berkendara, kujawab, sesekali.

Dokter menanyakan mataku belekan atau tidak, kujawab, ya sedikit, Buk! Singkat cerita dimulailah pemeriksaan ke benda-benda yang sangat asing bagiku. Kemudian berpindah ke alat lain semacam teropong. Lalu ke pemeriksaan tes mata.

Di dinding dipaparkanlah deretan huruf dan angka. Ketika mata kananku ditutupi, aku bisa membaca dengan jelas huruf dan angka yang ditampilkan layar. Beda cerita jika yang ditutup mata kiri, aku tak mampu melihat huruf ukuran kecil di dinding. Dokter memintaku untuk kembali keluar, pekerja yang menunggu stand pendaftaran disuruh meneteskan obat ke mata kananku.

Tetesan pertama, pedih sekali, kuyakin penderitaan kawan-kawan di Kanjuruhan akibat gas air mata aparat bangsat itu lebih pedih dari obat tetes ini, pikirku. Enam tetesan, dalam interval 20 menit. Kemudian aku dipanggil lagi ke ruang pemeriksaan. Dokter tadi menjelaskan tujuan obat tetes itu untuk memperbesar pupil mataku.

Kemudian mataku disenter. Setelah pemeriksaan selesai, mataku didiagnosis Neuritis Optik. Aku diberi obat tetes sama pil untuk dimakan jika tidak membaik aku dirujuk ke RSUD. Mendengar ini aku bergumam, “modar aku!” Dokter tadi juga membuatkan surat pengantar ke Puskesmas, kemudian Puskesmas nanti membikinkan rujukan lagi ke RSUD.

Setelahnya hanya cemas yang kudapati, tak fokus lagi mendengar penjelasan dokter ini. Yang kuingat adalah banyak makan rimbang, sebuah tumbuhan bulat kecil-kecil, katanya bagus untuk mata. Aku iya iya kan saja semua. Terkait tindakan lanjutan di RS nanti bisa dengan disuntik, dironsen, macam-macam cara nanti.

Tiba-tiba aku nyeletuk, “Tidak operasi, Bu?” Aku sangat takut dengan tindakan ini. “Yo nggaklah kamu kan tidak katarak.” Fiuh, aman, lega sebentar. “Tidak bisa dengan bantuan kacamata saja pengobatannya, Bu?” kataku dengan suara cemas. “Tidak!” Duarrr. Mati aku kalau nggak membaik dirawat.

Kusalin mengenai penyakut mata yang kuderita penjelasannya dari laman AloDokter, penyakit itu, “gangguan penglihatan akibat peradangan pada saraf mata (saraf optik). Kondisi yang sering terjadi pada penderita multiple sclerosis ini ditandai dengan buramnya penglihatan pada salah satu mata dan nyeri pada mata”.

Obat yang kubawa pulang dua macam obat tetes, 6 tetesan perhari, obat makan, tiga kali sehari. Di jalan pulang cemasku bertambah jadi. Rudy coba menghibur dengan keakuannya, “Aku dulu… aku dulu… aku dulu…” Yaelah Rud. Hihihi. Diajak makan lotek di Tebing Tinggi, di dekat kecelakaan maut hari Minggu lalu. Semangatku drop. Gusar.

Sampai si rumah Rudy, aku merenung. Disemangati istrinya, “Udahlah, tenang, Kel,” katanya. Jujur aku tidak bisa tenang. Aku malas jika harus dirawat. Takut.

Dalam pikiranku, Aku nggak mau buta sebelum bertemu denganmu, aku nggak mau buta dulu sebelum melihat opresi militer di West Papua berakhir, aku nggak mau buta sebelum melihat adikku tumbuh dengan pilihan-pilihannya sendiri, aku nggak mau buta sebelum gerakan progresif revolusioner timbuh dan bangkit melawan. Aku nggak mau buta sebelum marxisme dipelajari luas di negeri ini. Aku nggak mau buta sebelum Gunung Medan bertumbuh sejahtera. Aku nggak mau buta sebelum menginjakkan kaki di seluruh dunia. Aku nggak mau buta.

Malamnya aku pergi menenangkan diri ke ruko Harif, bermain dengan anaknya, kemudian mengedit video ke rumah Rudy.

Aku tidur cepat malam ini, pukul 23 lewat sedikit, kuhidupkan Youtube yang menayangkan persidangan Sambo cs, kemudian tanpa sadar sudah tertidur pulas, paginya bangun sambil mencek perkembangan syaraf mataku, ternyata masih buram.

Kurasa inilah permintaan mataku, “BERISTIRAHATLAH, BUNG!” Engkau terlalu menderita dengan berbagai macam pikiran.

Gunung Medan, 18 Oktober 2022.

--

--

Michael Jarda

Gunung Medan, 18 Maret 1994. Sedang mendalami spirit Madonna.